Senin, 26 Januari 2015

MEMBUMIKAN “FIAT JUSTISIA RUAT COELEUM” DI INDONESIA


Indonesia merupakan sebuah bangsa besar yang beridiologikan Pancasila serta UUD 1945. Segala sesuatu yang terjadi di negeri ini diatur oleh hukum melalui undang-undang. Maka sudah selayaknya bila hukum di negeri ini harus ditegakkan setinggi-tingginya. Apapun yang terjadi pada bangsa ini, hukum tetap harus menjadi yang terdepan sebagai landasan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Menyambut tahun yang baru, tentu harus diikuti dengan resolusi baru. Semangat aksioma “Fiat Justisia Ruat Coeleum” atau menegakkan hukum meskipun langit runtuh menjadi salah satu dari beragam harapan masyarakat terhadap bangsa Indonesia di tahun 2015. Hukum diharapkan mampu menjadi panglima terdepan dalam upaya untuk menghapus praktik ketidak adilan, pelanggaran HAM, perilaku kriminal, serta yang paling penting adalah pemberantasan korupsi.
Penegakkan hukum di republik ini masih menjadi sorotan yang serius oleh masyarakat Indonesia terutama kalangan pengamat hukum dan mahasiswa. Pasalnya, penegakkan hukum di Indonesia masih menjadi sesuatu hal yang tidak lebih dari pernyataan yuridis formal semata. Masyarakat juga menilai bahwa penegakkan hukum yang terjadi saat ini masih jauh dari kata adil. Bahkan muncul sebuah istilah “Hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas” yang menggambarkan keberpihakan untuk melindungi kalangan elite yang melakukan pelanggaran hukum.
Masyarakat Indonesia tentu belum lupa terhadap kasus yang menimpa Minah, seorang nenek yang harus dipenjara selama 1 bulan 15 hari akibat diduga mencuri tiga butir kakao dari kebun milik suatu perusahaan. Pemberian hukuman yang diterima oleh nenek Minah dinilai terlalu berat mengingat jumlah kakao yang dicurinya tidaklah besar, dan nenek Minah sudah memasuki usia renta. Kemudian bandingkan dengan para koruptor yang memperoleh hukuman sangat ringan. Contohnya adalah Gayus Tambunan. Tersangka tindak pidana korupsi ini hanya divonis selama 12 tahun penjara. Terlebih pada saat hari ulang tahun ke-69 kemerdekaan Indonesia, dirinya bahkan memperoleh remisi selama 5 bulan.
Membumikan “Fiat Justisia Ruat Coeleum” di Indonesia menjadi harapan yang besar di tahun 2015 mendatang. Hal tersebut menjadi PR yang berat bagi pemerintahan yang baru beberapa bulan ini berjalan, namun bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Pemerintah terutama melalui Kementrian Hukum dan Ham serta Jaksa Agung harus bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa hukum dapat ditegakkan setinggi-tingginya dan seadil-adilnya. Selain itu, resolusi di tahun 2015, pemerintah harus sesegera mungkin untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi seperti kasus Munir serta beragam kasus hukum lainnya.

RESOLUSI INDONESIA BERSIH TANPA KORUPSI


Tanpa terasa, kita sudah memasuki masa menjelang akhir tahun. Pergantian tahun yang baru harus disertai dengan resolusi baru agar bangsa ini mampu menjadi bangsa yang lebih baik lagi. Seperti orang bijak mengatakan “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Begitu pula dengan Indonesia yang harus selalu mengaktualisasi diri sebagai bangsa yang besar di setiap tahunnya.
Menatap Indonesia di tahun 2015 harus menggunakan “kacamata” yang positif. Banyak harapan-harapan yang muncul dari sekitar dua ratus lima puluh juta masyarakat Indonesia terhadap bangsanya. Salah satunya adalah resolusi Indonesia agar terbebas dari korupsi. Tindak pidana korupsi yang terjadi di negeri ini semakin merajalela. Hampir setiap pekan masyarakat Indonesia disuguhkan tayangan melalui media mengenai para oknum pejabat maupun pemerintahan yang tertangkap tangan oleh KPK akibat menerima suap maupun melakukan korupsi.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Indonesia Coruption Watch (ICW) pada Minggu 17 Agustus 2014 lalu, jumlah kasus korupsi yang terjadi selama dua tahun terakhir cenderung meningkat. Pada tahun 2013, jumlah kasus korupsi naik sebanyak 560 kasus. Pada 2014, jumlah kasus korupsi juga diperkirakan akan kembali meningkat, pasalnya selama semester I tahun 2014 saja, jumlah kasus korupsi sudah mencapai 308 kasus. Jumlah tersangka kasus korupsi pun meningkat signifikan di tahun 2013 menjadi 1.271 orang dan diperkirakan bertambah pada tahun 2014.
Bila berkaca dari data tersebut, kalimat “Resolusi Indonesia Bersih Tanpa Korupsi” dipandang sangat sulit terjadi. Memang bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkan harapan rakyat tersebut, namun bukan berarti suatu hal yang mustahil melihat bangsa ini mampu terbebas dari praktik korupsi di masa mendatang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibawah komando Abraham Samad serta pimpinan komisioner KPK lainnya menjadi barisan terdepan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Berbagai upaya terus ditempuh oleh KPK untuk menghapus korupsi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah dengan membuat radio streaming “Kanal KPK” dan pembentukan Deputi Pencegahan.
Namun, upaya pemberantasan korupsi di tahun 2015 tidak cukup bila hanya mengandalkan KPK saja. Pemerintah beserta Kepolisian RI juga harus turut serta dalam upaya mengurangi angka korupsi tersebut. Pemerintah harus memiliki good will dalam memberantas korupsi. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah harus sesegera mungkin menghapus remisi bagi tersangka korupsi agar mampu menimbulkan efek jera terhadap para pelakunya. Selain itu, masyarakat dan terutama kalangan pemuda harus punya semangat yang tinggi untuk menolak melakukan segala aktivitas yang mengandung unsur korupsi. Masyarakat juga harus berperan aktif dengan berani melaporkan setiap praktik korupsi yang terjadi di sekitar kita kepada instansi yang terkait.

Kamis, 10 April 2014

PASCA PILEG, BENARKAH KITA SIAP BERDEMOKRASI?






Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah usai. Terlepas dari beberapa kendala yang terjadi selama masa pemilu baik teknis maupun non teknis, kita perlu mengapresiasi kinerja KPU serta jajaran aparat pemerintah lainnya baik TNI/Polri serta seluruh pihak yang terlibat sehingga pemilu kali ini dapat berjalan secara kondusif. Pada tulisan kali ini, saya tidak akan menyoroti bagaimana kinerja KPU dalam mensukseskan jalannya pemilu, namun saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada kesiapan masyarakat Indonesia dalam menyambut setiap pesta demokrasi yang ada. Benarkah kita siap untuk berdemokrasi? Ataukah sistem demokrasi masih dianggap kurang cocok untuk bangsa ini?


-----------------------------------------------------
            Sebuah pertanyaan yang muncul dari dalam diri saya pribadi. Ketika pagi itu, ada salah seorang warga yang datang mengunjungi rumah saya. Dengan perasaan gembira ia menunjukkan tinta pada jari kelingkingnya, tanda bahwa ia telah mengikuti pencoblosan di salah satu TPS dekat rumah saya. Namun yang menjadi fokus perhatian saya pada saat itu adalah ketika ia mengatakan bahwa ia baru mengetahui kalau lembar pencoblosan untuk calon anggota legislatif DPR-RI berisi urutan nama, bukan foto sang calon. “Waktu saya mau nyoblos, saya bingung kok gak ada fotonya. Saya cuma inget fotonya, namanya mah gak tau, jadi saya asal pilih aja”, begitulah yang ia ucapkan.
            Kemudian saat menuju ke TPS tempat dimana dicantumkannya nama saya untuk mencoblos, saya bertemu dengan salah seorang warga. Warga tersebut memiliki KTP dengan alamat Bandung, Jawa Barat. Sedangkan daerah tempat saya memilih adalah Depok, Jawa Barat. Lama ia menunggu di TPS tersebut, dengan kebingungan ia menanyakan kepada beberapa warga apakah ia bisa menyalurkan hak suaranya dengan mencoblos di daerah Depok, walaupun alamat yang tertera pada KTPnya adalah Bandung. Setelah mendapatkan penjelasan dari ketua RT setempat bahwa warga tersebut tidak dapat memilih di TPS itu, ia nampak kecewa dan memilih untuk kembali ke rumahnya sambil berkata “wah, tau gitu saya mudik nih biar bisa nyoblos”.
            Kedua contoh warga dengan dua permasalahan yang berbeda yang mereka alami saat hendak mencoblos, mencerminkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita belum seluruhnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang mekanisme pemilu. Kurang aktifnya masyarakat kita untuk mencari informasi secara mandiri, masih menjadi PR besar bagi bangsa ini.


---------------------------------------------------------
            Usai mencoblos, saya kembali ke rumah dan menyaksikan salah satu stasiun TV swasta yang hendak menyajikan hasil hitung cepat /quick count. Sambil terus memantau perkembangan yang tiap menitnya selalu diperbarui, saya mencoba mengganti beberapa channel hingga saya melihat liputan berita mengenai banyak warga yang lebih memilih berlibur bersama keluarga dibanding datang ke TPS dan mencoblos. Memang agar meminimalisir angka golput, pemerintah melakukan berbagai upaya termasuk salah satunya adalah dengan memberikan hari libur nasional kepada warga Indonesia agar memiliki waktu untuk mencoblos. Namun nampaknya niat baik pemerintah itu tidak selamanya ditanggapi dengan baik pula oleh masyarakat Indonesia. Bahkan saat beberapa warga diwawancara untuk mengetahui alasan mereka lebih memilih berlibur dibanding mencoblos, salah seorang warga mengatakan bahwa sejak dulu ia tidak pernah mencoblos. Menurutnya, pemilu tidak akan merubah wajah Indonesia ke arah yang lebih baik. Sikap apatis yang tinggi serta masih adanya warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran rendah terhadap dampak positif dari pemilu, perlu menjadi perhatian tersendiri bagi bangsa ini. Meskipun, menurut data quick count beberapa lembaga mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia untuk mencoblos meningkat bila dibanding pemilu 2004 dan 2009 lalu.



-------------------------------------------------------------- 
            Malam harinya, aktifitas saya seperti biasa yaitu membaca beberapa berita dari salah satu situs media online nasional. Hampir seluruh kolom berita membahas seputar pemilu, mulai dari hasil quick count , Konferensi pers para petinggi partai, hingga kemungkinan-kemungkinan koalisi yang akan dilakukan oleh partai politik peserta pemilu 2014. Ada salah satu berita menarik yang saat itu saya baca. Pada berita itu disebutkan bahwa terdapat salah seorang calon anggota legislatif yang menuntut pengembalian uangnya yang diberikan kepada sejumlah warga beberapa saat menjelang pencoblosan. Uang tersebut dibagikan malam hari sebelum pemilihan. Caleg ini merasa kecewa terhadap warga yang telah diberikan uang masing-masing 150 ribu rupiah agar bersedia memilihnya. Namun, ternyata kesadaran masyarakat untuk menolak caleg yang money politic sudah mulai terbangun. Uang yang dibagikan sudah diterima oleh masing-masing warga, namun saat penghitungan suara hanya ada beberapa warga saja yang benar-benar menepati janjinya untuk memilih caleg tersebut. Miris memang, dalam proses demokrasi, sudah seyogyanya bahwa saat berkompetisi harus siap menang dan siap kalah. Beberapa daerah seperti Solo dan Yogyakarta memang telah melakukan aksi berupa kesepakatan bagi para caleg yang berkompetisi pada pemilu tahun ini agar siap menang dan harus siap bila kalah. Namun nampaknya, lagi-lagi kekurangdewasaan para peserta caleg yang kalah mengakibatkan banyak yang tidak terima terhadap hasil pemilu tersebut.


            Permasalahan-permasalahan yang masih dialami hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari minimnya wawasan dan pengetahuan tentang pemilu, masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemilu yang mampu membawa perubahan bangsa kita ke arah yang lebih baik lagi, serta kekurangdewasaan para caleg yang berkompetisi pada pemilu tahun ini harus menjadi perhatian serius bangsa. Tentu bukanlah hal yang bijak apabila kita hanya bisa mencaci dan mencibir lembaga penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tetapi kita justru enggan untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan merubah Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Mampukah kita semua menjawab pertanyaan apakah kita sudah siap untuk berdemokrasi? Entahlah, mungkin kita perlu mengutip lirik dari Ebiet G. Ade, “….coba tanyakan pada rumput yang bergoyang….”.

Kamis, 27 Maret 2014

Menanti “Titisan Muda” Sang Petahana



Hampir dua pekan sudah, seluruh media massa nasional beramai-ramai memberitakan seputar kampanye dan pemilu. Memang, harus diakui bahwa pada pemilu tahun ini jauh lebih bergairah dibanding pemilu sebelumnya. Selain dihiasi figur-figur baru yang belum pernah ada pada pemilu yang lalu, khusus periode ini juga sekaligus menjadi “kesempatan terakhir” bagi para politisi-politisi yang memang sudah lama ada dan makin mendekati usia senja. Hadirnya tokoh-tokoh alternatif diharapkan mampu meneruskan proses tumbuh kembang demokrasi dalam negeri menuju ke arah yang lebih baik lagi. Bila sebelumnya penulis telah membuat sebuah tulisan mengenai peta lawan politik Jokowi menjelang pilpres nanti, pada kali ini penulis mencoba untuk mendalami perkembangan dari konvensi partai Demokrat.
Sudah hampir sepuluh tahun, partai Demokrat selalu menjadi bagian penting dari sistem pemerintahan dalam negeri. Nama Demokrat tentu tidak akan pernah lepas dari seorang tokoh yang membesarkan partai tersebut hingga saat ini, yaitu SBY. Sudah dua periode SBY menjadi orang nomor satu di republik ini dan tentu SBY harus mencari sosok pengganti yang pantas dan mampu melanjutkan trend pemerintahannya yang selama ini dikenal santun dan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Sebelas nama dari banyak tokoh nasional yang akhirnya dipilih untuk menuju tahap konvensi berikutnya. Namun, agar tulisan ini tidak terlalu panjang dan terkesan membosankan, maka penulis membatasi dengan hanya menyebutkan beberapa nama yang ikut dalam konvensi tersebut yang masuk ke dalam kategori usia muda.


1. Anies Baswedan

Tokoh pertama ini, lahir pada 7 Mei 45 tahun yang lalu. Ia mencatatkan sejarah sebagai rektor termuda di Indonesia. Sejak 15 Mei 2007 lalu, tokoh ini telah dipercaya mengemban jabatan sebagai Rektor Universitas Paramadina. Memang tidak akan ada habisnya bila kita membahas tokoh yang satu ini. Anies adalah seorang tokoh muda yang bergerak untuk memajukan bangsa dibidang pendidikan. Langkah konkret yang telah ia lakukan untuk kemajuan pendidikan dalam negeri adalah dengan menjadi Pendiri gerakan Indonesia mengajar. Seorang figur yang mampu menjadi panutan baik bagi para generasi muda, termasuk bagi diri penulis.


2. Gita Wirjawan
Figur nasional dengan nama lengkap Gita Irawan Wirjawan ini lahir pada 21 September 1965. Tentu nama ini sudah tidak asing lagi bagi kita. Selain karena pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada Kabinet Indonesia Bersatu II, sosok muda ini juga dikenal menyukai berbagai cabang olaharaga seperti golf, basket, renang, dan sepakbola. Usia muda bukan merupakan suatu halangan bagi dirinya untuk berpolitik. Selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Gita memang dikenal sebagai tokoh yang tegas dan memiliki sikap yang jelas dalam menanggapi isu produk impor. Menurutnya, ia tidak setuju bila impor justru menimbulkan ketergantungan. Hal tersebut membuktikan bahwa sosok Gita Wirjawan memiliki visi pemikiran yang jelas dan matang di usia yang belum genap mencapai 50 tahun ini.


3. Ali Masykur Musa
Bila dibandingkan dengan dua tokoh sebelumnya, nama Ali Masykur Musa memang tampak kurang familiar dikalangan publik. Pria kelahiran 12 Septermber 1962 ini dikenal sebagai salah seorang anggota DPR fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang mewakili daerah Pemilihan Jawa Timur 6. Ia memulai karir politiknya dengan menjadi anggota FKB DPR-RI pada periode 1999-2001. Ali Masykur Musa melanjutkan karir politiknya dengan menjabat sebagai ketua Fraksi PKB DPR RI periode 2003-2004 dan 2004-2006. Ayah tiga anak ini pernah tercatat namanya sebagai Komisaris Utama PT. Carara Crema Stones pada periode 2002-2009. Kegiatan sosialnya pun cukup banyak. Tercatat, ia merupakan anggota Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama, DPP KNPI, serta GM Kosgoro. Dengan pengalaman politik serta organisasi yang cukup mumpuni, nama Ali Masykur Musa layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh politik senior lainnya yang mampu sukses berkiprah di dunia politik sejak usia muda.


4. Dahlan Iskan

Memang usianya sudah tidak muda lagi. Saat ini Menteri BUMN Kabinet Indonesia Bersatu II ini sudah memasuki usia 64 tahun. Namun, jiwa muda yang dimilikinya masih sangat terlihat bila kita berjumpa dengan tokoh yang satu ini. Sedikit berbagi, penulis pernah beberapa kali bertemu langsung dengan Dahlan Iskan. Sudah dua kali, Dahlan Iskan menjadi pembicara dalam seminar yang penulis ikuti. Dari kedua acara tersebut, Dahlan Iskan selalu menggunakan dua konsep yang sama. Dengan menggunakan pakaian dan sepatu khasnya, ia lebih memilih berdiri dan memanggil setiap orang yang ingin bertanya padanya dan maju menghampirinya. Dengan cepat dan lugas layaknya seorang pemuda, ia menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan, baik mengenai BUMN maupun mengenai pribadinya sendiri. Gaya kepemimpinannya yang terkesan berbeda, justru menjadi nilai positif tersendiri bagi masyarakat.

Dari keempat profil tersebut, terdapat harapan-harapan jutaan bangsa Indonesia agar bangsa ini terus berkembang dan menjadi lebih baik lagi. Sosok muda bukan lagi sosok yang hanya menjadi “ban serep” dalam dunia politik dalam negeri. Sudah saatnya negeri ini dipimpin oleh sosok muda penuh dengan semangat nasional yang tinggi serta memiliki daya pikir yang jelas dan terencana sehingga cita-cita bangsa yang tertera dalam UUD 1945 akan semakin terealisasi dengan baik.

Refrensi tulisan :
 Merdeka.com

Rabu, 19 Maret 2014

MENJELANG PILPRES, SIAPA BERANI LAWAN JOKOWI?





sumber foto : politik.kompasiana.com

            Hampir satu dasawarsa, negeri ini dipimpin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai isu positif maupun negatif selalu menghiasi sosok presiden yang dikenal penuh kehati-hatian  dalam mengambil keputusan ini. Sudah dua periode beliau menjadi pemimpin negeri. Itu artinya, negeri ini butuh sosok pengganti yang mampu melanjutkan segala hasil yang telah dicapai oleh SBY. Berbagai nama mulai mendeklarasikan diri sebagai bakal calon presiden RI periode 2014-2019 mendatang. Namun yang paling fenomenal adalah berita mengenai pemberian mandat oleh ketua umum PDI-P Megawati kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk maju pada pilpres mendatang. Sosok yang dikenal dengan gaya blusukannya ini, mampu menjadi “raja survey” yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey beberapa waktu yang lalu. Lantas, sebuah pertanyaan sederhana muncul, siapa berani lawan Jokowi dalam pilpres nanti?
            Penulis mencoba mengawali ulasan sederhana untuk menjawab pertanyaan tersebut dari partai penguasa saat ini, yaitu Partai Demokrat. Seperti yang telah kita ketahui, beberapa waktu belakangan ini, kalangan internal partai Demokrat tengah disibukkan dengan program konvensi untuk memilih tokoh yang akan dicalonkan pada pilpres mendatang. Beberapa nama tokoh politik nasional, kalangan akademisi, maupun militer, turut serta menghiasi pesta demokrasi partai berlambang Mercy tersebut. Mulai dari Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Pramono Edhie Wibowo, serta beberapa nama penting lainnya. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada pengumuman resmi yang dilontarkan dari partai petahana tersebut terkait tokoh yang akan dicalonkan dalam pilpres mendatang. Tanpa mengesampingkan nama-nama tokoh lain, nampaknya nama Dahlan Iskan serta Anies Baswedan merupakan dua tokoh yang digadang-gadang paling unggul serta mampu untuk melanjutkan pemerintahan SBY dan menjadi lawan politik Jokowi pada pilpres 2014 nanti.
            Kemudian ulasan berikutnya akan membahas tentang bakal calon presiden dari partai agamis. Beberapa partai memang sudah mendeklarasikan nama-nama yang akan diusung menjadi calon presiden mendatang. Mulai dari PPP yang mencalonkan Ketua Umumnya yaitu Suryadharma Ali sebagai bakal calon presiden pemilu 2014. Dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tiga nama kuat sudah disiapkan oleh parpol tersebut. Mulai dari tokoh alternatif seperti Rhoma Irama, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, hingga mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Kemudian dari Partai Keadilan Sejahtera, nampaknya masih malu-malu untuk mendeklarasikan tokoh yang dipilih sebagai capres. Perkembangan terakhir dari partai bernomor urut tiga dalam pemilu mendatang adalah telah melakukan konvensi tersendiri yang disebut sebagai Pemira untuk memilih beberapa nama yang akan diusung dalam pilpres. Nama-nama seperti Presiden PKS Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, dan Nur Mahmudi Ismail menjadi kandidat kuat pemenang pesta demokrasi khas partai Islam ini. Beralih ke Partai Bulan Bintang (PBB), nama Yusril Ihza Mahendra nampaknya menjadi satu-satunya nama yang akan diusung oleh parpol ini. Menilik dari peta kekuatan parpol, serta figur yang diangkat, nampaknya nama-nama yang telah disebutkan diatas akan menjadi pesaing kuat Jokowi bila maju dalam pilpres nanti.
            Lalu bagaimana dengan partai-partai nasionalis seperti Golkar, Gerindra, dan PAN? kedua partai tersebut nampaknya sudah mantap untuk menunjuk masing-masing ketua umumnya sebagai bakal calon presiden. Kehadiran ketiga tokoh sarat pengalaman politik seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subiyanto serta Hatta Rajasa akan lebih meramaikan bursa capres mendatang.
            Dari kalangan partai medioker, nama Wiranto – Hary Tanoesoedibjo sudah sejak lama mendeklrasikan diri sebagai bakal capres dan cawapres dari partai Hanura. Dengan pengalaman politik serta militer yang dimiliki oleh Wiranto, dan kemapanan sosok muda Hary Tanoesoedibjo sebagai pemilik media terbesar dalam negeri dinilai mampu menjadi warna tersendiri yang dapat menjadi batu sandungan Jokowi menuju presiden 2014.
            Dua nama parpol terakhir yakni PKPI serta partai baru yaitu NasDem, nampaknya masih enggan untuk menyebutkan siapa tokoh yang akan diusung dalam pilpres. Memang selama ini nama Sutiyoso dan Surya Paloh sebagai ketua umum dari masing-masing parpol tersebut merupakan calon kuat yang akan diajukan, namun nampaknya kedua partai ini lebih memilih untuk fokus dalam pemenangan pileg 9 April nanti sebelum mengumumkan siapa yang akan menjadi bakal calon presiden.
            Demikian ulasan singkat dan sederhana yang coba penulis utarakan, semoga mampu menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan siapakah tokoh yang akan dipilih untuk memimpin bangsa ini lima tahun mendatang.

Sabtu, 15 Maret 2014

MIRIS, JALAN MARGONDA DEPOK MINIM PENYEBRANGAN!



sumber foto : okezone.com


Pernahkah anda melalui Jalan Raya Margonda? Salah satu jalan yang paling ramai di kota Depok ini memang selalu dipadati oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Jalan Margonda merupakan jalur utama yang menghubungkan kota Depok dengan beberapa daerah lainnya seperti Bogor dan Pasar Minggu. Dengan panjang jalan 4,895 km, volume lalu lintas Jalan Margonda Raya paling tinggi dibandingkan jalan lainnya dikota Depok terutama pada jam sibuk dikisaran waktu 07.00-08.00 dengan jenis kendaraan mobil dan sepeda motor.
            Namun, ramainya kendaraan yang melalui jalan tersebut tidak diimbangi dengan banyaknya jumlah jembatan penyebrangan yang ada. Bila kita lihat, dari jalur yang menuju ke UI hingga ke jalan Tole Iskandar, hanya ada tiga jembatan penyebrangan yang dibangun oleh pemerintah kota Depok. Padahal, hingga saat ini sudah banyak korban jiwa yang harus meregang nyawa akibat mengalami kecelakaan saat hendak menyebrang.
            Salah satu contoh korban jiwanya adalah Rossyana. Beberapa waktu yang lalu seorang mahasiswi semester satu fakultas ilmu komunikasi Universitas Gunadarma ini, akhirnya harus meregang nyawa akibat tertabrak sepeda motor saat hendak menyebrang. Rossyana  sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dan sempat mengalami koma selama beberapa hari, namun akhirnya meninggal dunia akibat luka di kepala yang cukup parah. Kasus kecelakaan ini hanyalah satu dari banyak kasus kecelakaan yang terjadi di jalan Margonda akibat minimnya jalur penyebrangan untuk para pejalan kaki.
            Terkait dengan hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat Depok untuk mengajukan penambahan jembatan penyebrangan. Mulai dari menulis keluhan mereka pada situs resmi online pemerintah kota Depok, hingga berdemonstrasi di depan kantor walikota Depok. Namun pemerintah kota Depok nampak tak acuh dengan hal tersebut. Hingga saat ini hanya ada satu penambahan jembatan penyebrangan yang sedang dibangun. Pembangunan jembatan tersebut terus dikritisi oleh beberapa kalangan karena proses pengerjaannya yang dinilai lamban dan tak kunjung usai.