Pemilihan
Umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota
telah usai. Terlepas dari beberapa kendala yang terjadi selama masa pemilu baik
teknis maupun non teknis, kita perlu mengapresiasi kinerja KPU serta jajaran
aparat pemerintah lainnya baik TNI/Polri serta seluruh pihak yang terlibat
sehingga pemilu kali ini dapat berjalan secara kondusif. Pada tulisan kali ini,
saya tidak akan menyoroti bagaimana kinerja KPU dalam mensukseskan jalannya
pemilu, namun saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada kesiapan
masyarakat Indonesia dalam menyambut setiap pesta demokrasi yang ada. Benarkah kita
siap untuk berdemokrasi? Ataukah sistem demokrasi masih dianggap kurang cocok
untuk bangsa ini?
-----------------------------------------------------
Sebuah pertanyaan yang muncul dari
dalam diri saya pribadi. Ketika pagi itu, ada salah seorang warga yang datang
mengunjungi rumah saya. Dengan perasaan gembira ia menunjukkan tinta pada jari
kelingkingnya, tanda bahwa ia telah mengikuti pencoblosan di salah satu TPS
dekat rumah saya. Namun yang menjadi fokus perhatian saya pada saat itu adalah
ketika ia mengatakan bahwa ia baru mengetahui kalau lembar pencoblosan untuk
calon anggota legislatif DPR-RI berisi urutan nama, bukan foto sang calon. “Waktu
saya mau nyoblos, saya bingung kok gak ada fotonya. Saya cuma inget fotonya,
namanya mah gak tau, jadi saya asal pilih aja”, begitulah yang ia ucapkan.
Kemudian saat menuju ke TPS tempat
dimana dicantumkannya nama saya untuk mencoblos, saya bertemu dengan salah
seorang warga. Warga tersebut memiliki KTP dengan alamat Bandung, Jawa Barat. Sedangkan
daerah tempat saya memilih adalah Depok, Jawa Barat. Lama ia menunggu di TPS
tersebut, dengan kebingungan ia menanyakan kepada beberapa warga apakah ia bisa
menyalurkan hak suaranya dengan mencoblos di daerah Depok, walaupun alamat yang
tertera pada KTPnya adalah Bandung. Setelah mendapatkan penjelasan dari ketua
RT setempat bahwa warga tersebut tidak dapat memilih di TPS itu, ia nampak
kecewa dan memilih untuk kembali ke rumahnya sambil berkata “wah, tau gitu saya
mudik nih biar bisa nyoblos”.
Kedua contoh warga dengan dua
permasalahan yang berbeda yang mereka alami saat hendak mencoblos, mencerminkan
bahwa sesungguhnya masyarakat kita belum seluruhnya memiliki pengetahuan yang
memadai tentang mekanisme pemilu. Kurang aktifnya masyarakat kita untuk mencari
informasi secara mandiri, masih menjadi PR
besar bagi bangsa ini.
---------------------------------------------------------
Usai mencoblos, saya kembali ke
rumah dan menyaksikan salah satu stasiun TV swasta yang hendak menyajikan hasil
hitung cepat /quick count. Sambil terus
memantau perkembangan yang tiap menitnya selalu diperbarui, saya mencoba
mengganti beberapa channel hingga saya melihat liputan berita mengenai banyak
warga yang lebih memilih berlibur bersama keluarga dibanding datang ke TPS dan
mencoblos. Memang agar meminimalisir angka golput, pemerintah melakukan
berbagai upaya termasuk salah satunya adalah dengan memberikan hari libur
nasional kepada warga Indonesia agar memiliki waktu untuk mencoblos. Namun nampaknya
niat baik pemerintah itu tidak selamanya ditanggapi dengan baik pula oleh
masyarakat Indonesia. Bahkan saat beberapa warga diwawancara untuk mengetahui
alasan mereka lebih memilih berlibur dibanding mencoblos, salah seorang warga
mengatakan bahwa sejak dulu ia tidak pernah mencoblos. Menurutnya, pemilu tidak
akan merubah wajah Indonesia ke arah yang lebih baik. Sikap apatis yang tinggi
serta masih adanya warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran rendah
terhadap dampak positif dari pemilu, perlu menjadi perhatian tersendiri bagi
bangsa ini. Meskipun, menurut data quick
count beberapa lembaga mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
Indonesia untuk mencoblos meningkat bila dibanding pemilu 2004 dan 2009 lalu.
--------------------------------------------------------------
Malam harinya, aktifitas saya
seperti biasa yaitu membaca beberapa berita dari salah satu situs media online
nasional. Hampir seluruh kolom berita membahas seputar pemilu, mulai dari hasil
quick count , Konferensi pers para
petinggi partai, hingga kemungkinan-kemungkinan koalisi yang akan dilakukan
oleh partai politik peserta pemilu 2014. Ada salah satu berita menarik yang
saat itu saya baca. Pada berita itu disebutkan bahwa terdapat salah seorang
calon anggota legislatif yang menuntut pengembalian uangnya yang diberikan
kepada sejumlah warga beberapa saat menjelang pencoblosan. Uang tersebut
dibagikan malam hari sebelum pemilihan. Caleg ini merasa kecewa terhadap warga
yang telah diberikan uang masing-masing 150 ribu rupiah agar bersedia
memilihnya. Namun, ternyata kesadaran masyarakat untuk menolak caleg yang money politic sudah mulai terbangun. Uang
yang dibagikan sudah diterima oleh masing-masing warga, namun saat penghitungan
suara hanya ada beberapa warga saja yang benar-benar menepati janjinya untuk
memilih caleg tersebut. Miris memang, dalam proses demokrasi, sudah seyogyanya
bahwa saat berkompetisi harus siap menang dan siap kalah. Beberapa daerah
seperti Solo dan Yogyakarta memang telah melakukan aksi berupa kesepakatan bagi
para caleg yang berkompetisi pada pemilu tahun ini agar siap menang dan harus
siap bila kalah. Namun nampaknya, lagi-lagi kekurangdewasaan para peserta caleg
yang kalah mengakibatkan banyak yang tidak terima terhadap hasil pemilu
tersebut.
Permasalahan-permasalahan yang masih
dialami hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari minimnya wawasan
dan pengetahuan tentang pemilu, masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat,
rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemilu yang mampu membawa perubahan
bangsa kita ke arah yang lebih baik lagi, serta kekurangdewasaan para caleg
yang berkompetisi pada pemilu tahun ini harus menjadi perhatian serius bangsa. Tentu
bukanlah hal yang bijak apabila kita hanya bisa mencaci dan mencibir lembaga
penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tetapi kita
justru enggan untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan merubah Indonesia ke
arah yang lebih baik lagi. Mampukah kita semua menjawab pertanyaan apakah kita
sudah siap untuk berdemokrasi? Entahlah, mungkin kita perlu mengutip lirik dari
Ebiet G. Ade, “….coba tanyakan pada
rumput yang bergoyang….”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar