POLITIK. Adakah diantara kita yang tidak
tertarik dengan politik? Dengan berbagai permasalahan dan dinamika yang berada
di dalamnya, dunia politik seolah mampu “menyihir” setiap manusia agar terus mengamati
dan menantikan setiap perkembangan yang terjadi. Mulai dari kasus Bank Century,
mega proyek Hambalang, korupsi simulator SIM, sprindik KPK yang bocor, hingga
ditetapkannya AU sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang.Bagi generasi muda
sendiri, politik diibaratkan layaknya seorang gadis muda yang sangat cantik,
“sexy” dan mampu menarik perhatian.
Tidak hanya sampai di situ, politik bahkan
sudah mulai melanda dan “menjajah” dunia selebritis.Beramai–ramai artis yang
pandai berakting di dunia perfilman mencoba “mengadu nasib” di dalam dunia
politik.Ada yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota legislatif untuk
Pemilu 2014 nanti.Ada juga yang mencoba peruntungannya mencalonkan diri sebagai
calon kepala daerah di beberapa daerah, seperti pada Pilkada Jawa Barat
beberapa waktu silam, yang sering disebut dengan pilkada “PERANG BINTANG”.Bahkan
ada yang sudah percaya diri mendeklarasikan dirinya untuk maju dalam Pilpres
2014 mendatang.
Layaknya simbiosis mutualisme,terjadi proses
saling menguntungkan antara partai politik dan para selebritis yang terjun ke
dunia politik. Partai politik tentu berharap bahwa elektabilitas partainya akan
melesat naik karena memiliki kader yang terkenal dan dianggap mampu menarik
suara rakyat. Sedangkan “gaji selangit” yang seolah menjadi jaminan bagi mereka
yang mampu memenangkan suara rakyat dan menjadi “wakil rakyat di Senayan”
disinyalir menjadi daya tarik tersendiri bagi para selebritis yang ingin terjun
ke dunia politik.Hal ini tentu sah-sah saja, selama para selebritis memang
memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang baik untuk menjadi “wakil rakyat”.
Akan tetapi pada kali ini penulis tidak akan memperdalam pembahasan tersebut, penulis
akan lebih memfokuskan pembahasan terhadap dinamika politik yang terjadi saat
ini dan peran pemuda dalam perputaran roda politik nasional.
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.Beri aku
10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” (Soekarno).Kalimat dari sang
proklamator negeri yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan dan semangat
yang dimiliki oleh setiap pemuda. Ya, mampu bertindak serta berpikir cepat
dalam setiap pengambilan keputusan, merupakan nilai positif yang dimiliki oleh
para pemuda dibandingkan generasi yang lebih senior.Akan tetapi, realita yang
terjadi di dalam dunia politik justru berbanding terbalik dengan pernyataan
tersebut.Dunia politik nasional seolah hanya mampu dan dapat dikuasai oleh para
politisisenior, bukan kalangan pemuda.Mengapa demikian? Penulis akan mencoba
mengulas satu persatu jawaban dari pertanyaan besar ini.
Para politisi muda, dinilai masih belum memiliki
integritas dan kapabilitas yang baik. Faktor minimnya pengalaman dan “jam
terbang”, dianggap oleh sebagian kalangan merupakan alasan mengapa politisi
muda seolah menjadi “pemain cadangan” dalam dunia politik nasional. Lebih
ironis lagi, para pengamat politik mengatakan bahwa para politisi muda hanyalah
sebagai “bumper” bagi politisi senior untuk melakukan berbagai kegiatan politik
yang hanya akan menguntungkan dirinya dan kelompoknya sendiri.
Tentu sudah tidak asing lagi bagi sistem demokrasi
negeri ini terhadap terjadinya demonstrasi dan unjuk rasa yang dilakukan oleh
para pemuda.Dengan mengatasnamakan demokrasi dan kebebasan mengemukakan
pendapat, para pemuda yang didominasi oleh kalangan mahasiswa kerap menyuarakan
ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah yang berkuasa. Dengan semangat
yang tinggi, pemuda yang sering disebut juga sebagai kalangan “aktivis” ini
seolah tak kenal lelah mengkritisi dan memandang negatif terhadap pemerintahnya
yang dinilai lamban dalam mengurus segudang permasalahan bangsa.Para politisi
senior yang menjadi pejabat nasional dianggap gagal dalam mewujudkan janji –
janji dan harapan yang diberikan kepada publik ketika sedang berkampanye.
Berangkat dari rasa tidak puas mereka terhadap
kinerja pemerintah yang berkuasa, maka satu – persatu mulai muncul sederet
tokoh muda dalam pentas politik nasional yang setali tiga uang telah menorehkan
harapan baru bagi bangsa Indonesia. Tokoh – tokoh muda tersebut diantaranya adalah
Muhaimin Iskandar, Arya Bima, Yudi Chrisnandi, dan mantan ketua umum partai
Demokrat yaitu Anas Urbaningrum yang dahulunya dikenal sebagai aktivis yang
dinilai “sangat vokal” dalam mengkritisi kinerja pemerintah yang berkuasa.Bagaikan
“gayung bersambut”, mereka para tokoh muda disambut hangat oleh rakyat
Indonesia, dan perlahan – lahan generasi muda mulai mengimbangi kiprah politisi
senior dalam panggung politik nasional.
Akan tetapi, layaknya “menjilat ludahnya sendiri”,
para tokoh politisi muda justru seperti mengikuti rekam jejak para seniornya.Sebut
saja Muhaimin Iskandar diduga
terlibat kasus korupsi di Kemenakertrans, lembaga yang dipimpinnya.Angelina
Sondakh, politisi muda mantan anggota partai Demokrat yang berasal dari
kalangan artis, terlibat kasus korupsi suap kepengurusan anggaran di Kemendiknas.Dan
yang terbaru adalah ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka oleh KPK
dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
Sungguh ironis memang, ketika para aktivis yang di
usia muda dikenal idealis dan selalu mengkritisi kinerja pemerintah yang
dinilai lamban, justru seolah bungkam dan “melempem” ketika menjadi pejabat pemerintahan.
Layaknya “sang macan yang kehilangan taringnya”, para politisi muda mulai acuh
dan tidak lagi bersuara lantang terhadap penderitaan rakyat kecil.Kepentingan
partai seolah menjadi prioritas utama.Mereka seakan lupa atas apa yang selama
ini mereka perjuangkan, ya, mereka seolah melupakan keadilan dan kesejahteraan
bagi kaum rakyat kecil.
Satu – persatu dari mereka mulai bermasalah dengan
hukum. Para politisi muda terjerat kasus korupsi baik dalam proyek
pembangunan maupun korupsi anggaran APBN
dan APBD.Benar adanya pepatah yang mengatakan bahwa “Demokrasi akan memakan
anak kandungnya sendiri”.Seperti yang kita ketahui bersama bahwa mereka yang
saat ini terjerat kasus korupsi adalah para aktivis yang dahulunya berada di
garis paling depan dalam upaya mendukung penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi.Mahalnya “ongkos politik nasional”, disinyalir menjadi alasan utama
mengapa mereka seolah lupa kepada rakyatnya dan selalu mendahulukan kepentingan
pribadi dan partainya.Ideologi yang semasa muda sangat kuat dimiliki oleh para
aktivis, seolah hilang tak berbekas ketika mereka mulai tergiur dengan ideologi
uang. Permasalahan inilah yang kemudian melatarbelakangi keragu – raguan rakyat
Indonesia terhadap kinerja politisi muda, dan pada akhirnya politik hanya dapat
dikuasi oleh politisi senior dan mempunyai “jam terbang” yang lebih tinggi
dalam sistem politik nasional.
Tapi tunggu dulu, tidak semua tokoh politisi muda
membawa dampak yang buruk bagi demokrasi bangsa ini.Saat ini perlahan namun
pasti, mulai bermunculan tokoh – tokoh pemuda yang dianggap memiliki integritas
yang baik dan mampu membawa perubahan bagi bangsa. Nama – nama seperti Anies
Baswedan, Joko Widodo, Basuki Tjahya Purnama (Ahok), bahkan ketua KPK Abraham
Samad seolah menjadi cahaya – cahaya kecil yang membawa harapan yang begitu
besar dari rakyat Indonesia terhadap kinerja politisi muda. Kehadiran mereka
dalam politik nasional seolah menegaskan kembali bahwa tidak semua politisi
muda “dapat dibeli” ideologinya dengan uang.Mereka juga seolah mendeklarasikan
bahwa sudah saatnya bangsa ini dipimpin oleh seorang pemuda.Seorang pemimpin
yang mempunyai kecepatan tinggi dalam setiap pengambilan kebijakan dan sudah
pasti mengutamakan kepentingan rakyatnya, bukan hanya golongannya atau
partainya saja, seperti yang tengah terjadi saat ini.
Anies Baswedan, tokoh pemuda yang dikenal dengan
program “Indonesia Mengajar”nya ini dianggap berkontribusi besar dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Abraham Samad, seorang pemuda yang dinilai tidak memiliki
rasa takut dalam memberantas korupsi satu – persatu mulai menumbangkan politisi
senior yang terlibat kasus korupsi yang bahkan selama ini dianggap “kebal hukum”.
Diantaranya adalah, Paskah Suzetta, Sofyan Usman, serta Daniel Tandjung.Dan
apresiasi yang lebih tentu layak kita berikan kepada Jokowi dan Ahok, dua tokoh
pemuda yang dengan beraninya “memporak – porandakan” kebobrokan sistem pemerintahan
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Dinilai memiliki kecepatan (speed)yang
tinggi dalam proses pengambilan keputusan, Jokowi dan Ahok semakin dicintai
oleh rakyatnya sendiri. Belum genap 6 bulan menjabat, sudah banyak kebijakan
yang mereka putuskan yang dinilai pro rakyat, seperti kartu “Jakarta Sehat”, pemanfaatan
kembali rusunawa – rusunawa yang selama ini terbengkalai, dan yang paling
fenomenal adalah mulai diwacanakan kembali mega proyek MRT yang disinyalir
memakan dana yang cukup besar. Tentu bukanlah suatu masalah apabila dana yang
sebagian besar bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat tersebut
kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri.
Dari sinilah, penulis mengambil kesimpulan bahwa
sudah saatnya generasi muda untuk bangkit dan memimpin demokrasi bangsa ini
dengan berbasiskan pada kepentingan rakyat kecil!.Peran pemuda sangat
diperlukan tidak sekedar mengejar ketertinggalan dari negeri tetangga, bahkan
peran tersebut mampu untuk membuat bangsa ini mengungguli bangsa – bangsa lain.
Besar harapan kita kepada politisi muda yang memiliki rekam jejak yang baik
serta mendahulukan kepentingan rakyat, bukan mereka yang selalu mengutamakan kebutuhan
partai.Terbukti, politisi muda seperti Jokowi, Ahok, Anies Baswedan, serta
Abraham Samad yang dianggap “pro rakyat” semakin dicintai oleh masyarakat dan
kiprahnya di dunia politik semakin gemilang. Sedangkan politisi muda yang “me-nomor
satukan” partainya seperti Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi
Mallarangeng, serta Nazaruddin, seolah silih berganti diperiksa hingga akhirnya
di tahan oleh KPKdan dianggap gagal dalam mengurus negeri ini.
Dengan begitu, tentu kita harus menghapus paradigma
yang selama ini berkembang bahwa politik tidak hanya milik kalangan politisi
senior.Politik juga milik kalangan pemuda, generasi yang penuh semangat untuk
terciptanya negeri yang adil dan sejahtera.Tentu alangkah bijaknya apabila para
politisi senior bersedia memberikan kesempatan kepada para tokoh politisi muda
untuk menunjukan integritas dan kapabilitasnya dalam memimpin negeri Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar