Bissmillah,
pada tulisan kali ini saya akan coba sharing artikel yang telah saya dan partner kerja saya yang juga insyaAllah menjadi partner hidup saya (hehehe) yaitu Nur Afifah Putri seminarkan pada acara Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) di Padang tahun lalu. semoga bermanfaat.
Abstrak
Tahun 2013 merupakan ajang bagi
partai politik untuk menarik perhatian masyarakat Indonesia. Beberapa bulan
kedepan, pesta demokrasi Pemilihan Umum yang dilaksanakan 5 tahun sekali
digelar. Beramai – ramai partai politik senantiasa mengkampanyekan diri baik
melalui media cetak maupun media massa. Pemberitaan
melalui media massa dianggap berperan aktif dalam menyebarkan
pemberitaan ataupun memengaruhi pikiran seseorang. Sehingga saat ini banyak
iklan partai politik menghiasi media massa terutama iklan di layar televisi. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pencitraan yang dibuat
oleh partai politik serta elektabilitasnya di masyarakat. Dalam
pembuatan makalah ini, penyusun
menyoroti apakah dengan semakin sering partai politik melakukan pencitraan
politik serta marketing politik, maka akan membuat elektabilitasnya di pemilu
2014 nanti meningkat. Dengan menggunakan frame teori marketing politik,
diharapkan dapat memberikan ulasan mengenai
bagaimana pendekatan yang dilakukan partai politik kepada masyarakat. Marketing politik telah memberikan perspektif
alternatif yang dapat digunakan oleh parpol untuk lebih mendekatkan diri dengan
masyarakat. Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penyusun
menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan membaca beberapa jurnal serta
berberapa electronic book. Kemudian penyusun juga mengunduh hasil survei
elektabilitas partai politik menjelang Pemilu 2014 dari beberapa lembaga survei
seperti Lembaga Survei Nasional (LSN), Centre for Strategic and Internasional
Studies (CSIS), Pusat Data Bersatu (PDB), Lingkaran Survei Indonesia (LSI),
serta Lembaga Klimatologi Politik (LKP).
Keywords : Pencitraan, Marketing Politik, Parpol,
Elektabilitas, Pemilu 2014
PENDAHULUAN
Partai
politik merupakan sarana politik yang menjembatani elit – elit politik dalam
upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu
negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau
haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan – kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political
development sebagai suprastruktur politik. Menurut Carl J. Friedfrich, partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun materil.
Tahun
2013 merupakan ajang bagi partai politik untuk menarik perhatian dari
masyarakat Indonesia. Beberapa bulan kedepan, pesta demokrasi Pemilihan Umum
yang senantiasa dilaksanakan 5 tahun sekali digelar. Beramai – ramai para
partai politik melakukan pencitraan
politik. Politik pencitraan (imagologi
politic) erat kaitannya dengan pemasaran politik (political marketing) yang dilakukan partai politik yang dibangun
melalui media cetak maupun media massa. Kedua unsur tersebut menjadi elemen
penting partai politik untuk memenangkan pemilu .
Politik
pencitraan memiliki kaitan yang erat dengan tingkat partisipasi masyarakat pada
saat pemilu. Bila partai politik tidak mampu menciptakaan citra yang baik, hal
pertama yang perlu dikhawatirkan adalah sikap rakyat yang akan berubah menjadi
apatis. Sesuai dengan semangat demokrasi bangsa Indonesia, bahwa peran serta
rakyat dalam pembangunan negeri
merupakan hal yang signifikan. Dengan sikap masyarakat yang apatis, akan
mengakibatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum menjadi
rendah.
Dalam
ilmu komunikasi massa, media massa adalah sarana atau alat dalam komunikasi massa. Media
massa dilihat sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan kepada sejumlah orang
yang tersebar di berbagai tempat (Wiryawan 2007:42). Saat ini televisi menjadi
suatu alat yang sangat ampuh dalam menyebarluaskan suatu berita atau peristiwa.
Pemberitaan media
massa, baik itu media cetak maupun media elektronik sangat berperan aktif dalam
menyebarkan pemberitaan ataupun memengaruhi pikiran seseorang. Sehingga saat
ini banyak iklan-iklan partai politik menghiasi media massa terutama iklan di
layar televisi.
KAJIAN TEORITIS
Marketing politik dapat bermakna
sebagai aplikasi kegiatan, marketing di dalam ruang politik yang umumnya
terkonsentrasi pada saat pemilu atau pilkada. Menurut O’Shaughnessy, seperti
dikutip Firmanzah (2008), marketing politik berbeda dengan marketing komersial.
Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” parpol atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep
yang menawarkan bagaimana sebuah parpol dapat membuat program yang berhubungan
dengan permasalahan yang aktual. Marketing politik merupakan sebuah teknik
untuk memelihara hubungan dua arah dengan publik.
Menurut A. O’Cass marketing
politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan kontrol terhadap politik
dan program – program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan
memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai dan pemilih
demi tujuan untuk mencapai political
marketers objectives. Tujuan marketing dalam politik menurut Gunter
Schweiger dan Michaela Adami adalah : (1) untuk menanggulangi rintangan
aksesibilitas; (2) memperluas pembagian pemilih; (3) meraih kelompok sasaran
baru; (4) memperluas tingkat pengetahuan publik; (5) memperluas preferensi
program partai atau kandidat; (6) memperluas kemauan dan maksud untuk memilih.
Lees – Marshment menekankan
bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan antara produk sebuah
organisasi dengan permintaan pasar. Philip Kotler dan Neil Kotler (1999)
menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat perlu memahami market
atau pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta aspirasi
dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.
HASIL ANALISIS
Semakin maraknya pencitraan
politik secara positif yang dilakukan oleh para partai politik baik melalui
iklan atau pemberitaan yang dimuat di media massa, baik media cetak maupun
media elektronik, ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap kenaikan elektabilitas
dari partai tersebut. Menjelang Pemilu 2014, penggunaan
frekuensi publik oleh partai politik
untuk
kepentingan pencitraan dan mendongkrak suara partai terus meningkat. Menurut
catatan KPI, selama Oktober – November tahun lalu grup MNC, ketika pemiliknya
masih bergabung dengan Partai Nasional Demokrat, telah menyangkan iklan partai
ini hingga 350 kali dengan rincian RCTI 127 kali, MNCTV 112 kali, dan GlobalTV
111 kali. Di periode sama, MetroTV merilis pariwara Partai Nasdem 43 kali dan
tvOne untuk iklan Partai Golkar 34 kali. Beberapa partai yang telah melakukan
pencitraan politik, elektabilitasnya cenderung stagnan bahkan menurun walaupun
seringkali melakukan pencitraan politik melalui media massa, baik media cetak maupun media elektronik.
Berdasarkan
hasil survei dari Centre for Strategic
and Internasional Studies (CSIS) pada bulan Juli 2012 hingga April 2013, Partai
Golongan Karya (Golkar) bertengger di urutan pertama dengan 13,2%, kemudian
disusul oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan 12,7%, serta Partai
Gerindra dengan 7,3%. Kemudian berturut – turut adalah Partai Demokrat 7,1%, PAN
4%, PKB 3,5%, PKS 2,7%, PPP 2,2%, Hanura 2,2%, Nasdem 1.3%, sementara 40,5%
responden belum menentukan pilihan.
Kemudian Alvara Research Center merilis hasil survei terbarunya mengenai partai politik (parpol) dan
calon presiden (capres) 2014 mendatang. Dari hasil survei yang dilakukan pada 15 Juli
sampai 23 Agustus 2013 tersebut,
Partai Golkar, Partai Demokrat, dan PDI – P merupakan tiga partai yang paling populer. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI –P) merupakan
partai yang paling melekat di benak kelas menengah urban.
Dari hasil survei yang dilakukan
oleh Lembaga Survei Nasional (LSN), Centre for Strategic and Internasional
Studies (CSIS), Pusat Data Bersatu (PDB), Lingkaran Survei Indonesia (LSI),
serta Lembaga Klimatologi Politik (LKP), menunjukkan bahwa elektabilitas partai
yang kerap melakukan pencitraan politik melalui media massa seperti Partai
Hanura dan Partai Nasdem belum mampu menyaingi elektabilitas partai besar
seperti Golkar, Demokrat dan PDI – P dan belum dapat menembus posisi tiga besar dari setiap hasil survei yang diluncurkan.
Semenjak bergabungnya CEO MNC
Group Hary Tanoesoedibjo ke partai Hanura pada bulan Februari 2013, hampir setiap
hari terdapat iklan serta pemberitaan partai Hanura di media massa khususnya yang
berada di bawah naungan MNC Group.Tidak tanggung-tanggung, bahkan telah ada sebuah program kuis di RCTI yang berjudul “kuis kebangsaan WINHT2013” yang tidak lain mempromosikan pasangan capres dan cawapres
Wiranto dan Harry Tanoesoedibjo. Setelah gencar melakukan
pencitraan politik, elektabilitas
partai Hanura memang cenderung meningkat, namun belum dapat menandingi partai –
partai besar yang berada di Senayan. Sementara itu semenjak terpilihnya pemilik
Media Group Surya Paloh sebagai ketua umum Partai Nasional Demokrat, elektabilitas partai tersebut terkesan stagnan bahkan tidak mampu menembus 3 besar, meskipun hampir setiap hari Media Group selalu melakukan pencitraan politik
dengan menampilkan iklan serta memberitakan
perkembangan terkini mengenai partai Nasional Demokrat.
Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia semakin cerdas terhadap apa yang hendak dilihat melalui
media massa. Masyarakat Indonesia akan memilih partai politik yang dinilai memiliki
visi membela rakyat kecil, bukan berdasarkan banyaknya jumlah iklan maupun
pencitraan politik yang ditampilkan. Kemudian, keberadaan figur politik dari masing – masing partai politik juga memiliki peranan yang cukup kuat terhadap
elektabilitas partai itu sendiri. Seperti fenomena munculnya figur Jokowi. Kehadiran Jokowi dengan
berbagai kebijakan yang dianggap membela kaum menengah kebawah
sesuai dengan landasan yang berasal dari partai pengusungnya yaitu PDI – P.
Partai yang mengklaim merupakan partai wong cilik ini secara tak langsung juga
ikut merangsak naik elektabilitasnya. Hal ini terlihat pada hasil survey yang dilakukan Alvara Research Center
pada bulan September 2013. Partai berlambang kepala Banteng dengan moncong
putih itu meraup 14,8 persen, Partai Gerindra (12,5 persen), Golkar (8,4
persen), Demokrat (7,4 persen), Nasdem (4,6 persen), Hanura (3,8 persen), PKS
(3,4 persen), PPP (2,2 persen), PAN (2,1 persen), PKB (1,7 persen), PBB (0,1
persen), dan PKPI (0,1 persen).
Kemudian
mengenai partai Golkar, partai yang diketuai oleh Aburizal Bakrie ini gencar sekali melakukan pencitraan, iklan partainya
serta pemberitaan mengenai dirinya kerap kali terlihat di media yang berada
dibawah naungan viva group. Partai Golkar masih dominan berada di 3 besar hasil survei
beberapa lembaga, penyusun beranggapan bahwa hal tersebut bukan saja
dikarenakan maraknya pencitraan yang dilakukan, tetapi juga karena partai Golkar
memiliki jaringan partai yang cukup solid di daerah apalagi keberadaan partai
Golkar yang sudah sangat lama sehingga
lebih diingat oleh masyarakat Indonesia terutama kelas menengah kebawah. Asumsi
ini dibuktikan oleh hasil survei yang dilakukan oleh CSIS bahwa hasil survey partai
Golkar pada tahun 2012 dan 2013 memiliki elektabilitas yang sama, serta survey
yang dilakukan Alvara research center menyatakan bahwa jika responden ditanya
secara spontan, partai apa yang paling diingat, maka akan memilih Partai Golkar
dan PDIP. Partai Golkar 81,3%, PDIP
80,7%, Partai Demokrat 62,8%, PKS 50,1%, PAN 44,8%, Partai Gerindra 40,6%, PPP
38,9%, PKB 33,0%, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 23,3%, PBB 7,3% dan PKPI
5,2%.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Pengenalan diri maupun
pencitraan politik memang perlu dilakukan oleh partai politik dalam upaya
memenangkan Pemilu 2014 mendatang. Namun hal tersebut hendaknya berjalan
selaras dengan memberikan bukti – bukti berupa tindakan konkret yang
menunjukkan bahwa partai tersebut memang mampu menjalankan kepercayaan apabila
dipilih oleh masyarakat untuk mewakili aspirasi mereka pada Pemilu 2014 nanti.
Masyarakat Indonesia yang sudah
semakin cerdas, tentu hanya memilih partai yang menurut asumsi mereka dekat
dengan rakyat dan mampu mengemban tugas sebagai wakil rakyat dengan baik, bukan
sekedar pencitraan politik melalui media massa semata yang selama ini kerap
dilakukan oleh beberapa partai politik.
Saran penyusun terhadap partai
politik adalah hendaknya partai politik harus terus memberikan tindakan –
tindakan konkret yang dinilai pro rakyat sehingga rakyat akan memberikan kepercayaan mereka pada Pemilu 2014 nanti. Sedangkan saran
penyusun terhadap masyarakat Indonesia adalah, tetap menjadi rakyat yang cerdas
dengan menjadi audience aktif yang tidak mudah terpengaruh oleh terpaan iklan
pencitraan partai politik.
DAFTAR PUSTAKA
Adman Nursal.
(2004) Political Marketing. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah.
2008. Marketing Politik Antara Pemahaman
dan Realitas. Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Gatra, Sandro. 2013. Survei CSIS : Elektabilitas Golkar
– PDIP Paling Tinggi. www.kompas.com. Diakses pada
24
Oktober 2013 13 : 57.
Littlejohn,
Stephen W., dan Karen A. Foss. 2009.
Teori Komunikasi. Edisi Sembilan. Penerjemah: Mohammad
Yusuf Hamdan. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
Novia,
Dyah.2013.Elektabilitas PDIP Paling
Tinggi Disusul Gerindra.www.republika.co.id. Diakses pada 10
November 201317:57.
Ramdani,
Alwan. 2013. Langgar Aturan Frekuensi
Demi Popularitas Politik. www.merdeka.com. Diakses pada
9 November 2013 23 :
38.
Riadi, Slamet. 2013. 3 Partai Terpopuler Versi Lembaga Survei. www.sindonews.com. Diakses pada 24 Oktober
2013
13 : 34.
pada 24 Oktober 2012
14 : 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar