Hari ini tepat enam
tahun tragedi itu terjadi. Ya, pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu telah terjadi
gempa bumi yang dahsyat dengan kekuatan getaran 5,9 SR di bumi Jogja tepatnya
di dekat pantai parangtritis kabupaten Bantul. Pada kali ini aku akan berbagi
cerita tentang pengalamanku ketika bumi tercinta tempat asalku itu diguncang
gempa.
Jogja, 27 Mei 2006
Aku ingat ketika itu
hari sabtu pagi . saat itu aku masih tidur lelap bersama bapakku, sedangkan
ibuku sudah pergi bekerja karena pada waktu itu ibuku masih menjadi seorang
karyawati di salah satu PT yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalku.
Tiba-tiba pintu rumahku
yang semula tertutup kemudian ada yang membuka dengan gerakan yang seperti
mendobrak. Ternyata orang itu adalah ibuku. Aku kaget dan terbangun dari
tidurku dan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh ibuku.tanpa
banyak bicara, ibuku kemudian menyalakan tv dan langsung mencari-cari berita
tentang gempa.
Tak lama kemudian
muncul sebuah berita yang menjelaskan bahwa telah terjadi gempa di daerah
istimewa Yogyakarta. Dan yang menjadi daerah terparah yang mengalami kerusakan
rumah adalah daerah kabupaten bantul, ya itu adalah daerah di mana nenek dan
saudara-saudaraku tinggal.
Setelah mendengar
berita itu lantas ibuku berusaha untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu
dengan menelpon salah satu saudaraku yang berada di sana. Dan ternyata benar,
ternyata kampung tempat dimana ibuku berasal telah diguncang gempa dan hampir
seluruh rumah di daerah tersebut hancur akibat gempa yang terlalu keras.
Kemudian kami langsung
merapihkan baju dan peralatan yang sekiranya penting untuk dibawa ke jogja. Dua
jam kemudian kami sekeluarga berangkat menuju ke jogja.
Di perjalanan tentu
kami sangat cemas menanti bagaimana nasib dari nenekku yang kabarnya ia terkena
reruntuhan rumah dan di bawa kerumah sakit oleh salah seorang warga kampung
itu. Selama perjalanan, ibuku selalu berkomunikasi dengan salah satu saudaraku
yang ada di jogja untuk menanyakan apa saja yang perlu dibawa dan obat-obatan
apa saja yang dibutuhkan.
Mobil kami sempat
berhenti beberapa kali untuk membeli tenda, minyak tanah, dan obat-obatan. Dan
membutuhkan waktu lebih dari 14 jam untuk menempuh perjalanan sepanjang 650 KM
bogor – jogja. Sekitar jam 3 malam kami mulai memasuki daerah jogja.
Tepat seperti dugaanku,
suasana jogja setelah diguncang gempa sangat mencekam. Sepanjang jalan tidak
kutemui satupun lampu yang menyala kecuali lampu mobil yang lewat. Kamipun sempat
tersasar karena tidak ada sama sekali petunjuk jalan dan mungkin sudah ambruk
terkena gempa bumi.
Aku ingat saat itu
sekitar jam setengah 4 pagi aku mulai memasuki perkampungan tempat nenekku
tinggal. Benar kata saudaraku, semua rumah disana hancur berantakan dan tidak
ada satupun rumah yang masih berbentuk bangunan, semua sudah rata dengan tanah.
Perlahan-lahan mobil
kami menyusuri perkampungan yang sangat gelap. Dan ketika lampu mobil kami
menyoroti salah satu pinggir jalan, aku sempat melihat ada mungkin beberapa
jenazah yang saat itu belum dikubur juga karena suasana yang masih panik dan
sangat mencekam. Dan kami akhirnya tiba di rumah nenek kami dan disana terlihat
ada sebuah tenda kecil yang diisi oleh banyak sekali orang di dalamnya.
Aku turun dari mobil,
dan saat itu tidak ada satu katapun yang bisa ku sampaikan. Hanya diam dan
seolah tidak percaya bahwa kampung yang sekitar 6 bulan yang lalu kulihat masih
bersih dan tertata rapih kini hancur berantakan dan memunculkan kesan “kota
mati”.
Ibuku dan bapakku
menuju ke tenda yang sudah dibangun oleh warga sekitar, tak berapa lama akupun
menyusul kesana. Tangisan dan jeritan langsung keluar dari mulut ibuku ketika
melihat nenekku yang saat itu tergeletak di dalam tenda di tengah kerumunan
orang-orang yang lainnya. Nenekku memang masih hidup, tapi kondisinya parah. Tangannya
patah, bibirnya sobek dan kepalanya bocor.
Ya Allah, benar-benar
gak kuat aku liatnya. Nenekku hanya bisa berbaring dan bahkan dudukpun ia gak
sanggup. Saudaraku menceritakan kepada ibuku ternyata nenekku tadi pagi
tertimpa reruntuhan rumah dan mereka pikir nenekku telah meninggal dunia.
Jadi pada waktu pagi
itu, nenekku sedang duduk di depan warungnya. Kemudian datang seorang nenek
yang ingin menukarkan berasnya dengan kelapa. Kemudian nenekku masuk ke dalam
warungnya untuk mengambil kelapa itu. Saat di dalam warung tiba-tiba terjadi
gempa yang frekuensinya tidak terlalu besar. Nenekku yang kaget langsung lari
keluar warung untuk menyelamatkan diri. Setelah keluar, kemudian gempa itu
berhenti. Karena merasa gempa itu sudah selesai, maka nenekku masuk kembali ke
dalam warungnya untuk mengambil kelapa, tapi justru saat itu juga terjadi lagi
gempa yang kali ini frekuensinya jauh lebih besar dari frekuensi gempa yang
pertama, dan waktunya pun cukup lama, kurang lebih sekitar satu menit.
Nenekku langsung jatuh
dan tertimpa reruntuhan bangunan warungnya. Kemudian nenekku pingsan. Beberapa menit
kemudian ada beberapa warga yang melihat nenekku sedang pingsan dan tertimpa
reruntuhan rumah. Mereka mencoba untuk mengangkat reruntuhan itu dari badan
nenekku. Awalnya mereka berdua mencoba untuk mengangkat tapi tidak kuat,
akhirnya salah satu dari mereka mencoba untuk memanggil warga yang lainnya
untuk membantu mengangkat puing reruntuhan itu, dan setelah 4 orang yang
mencoba mengangkat barulah reruntuhan itu bisa diangkat dari tubuh nenekku.
Kemudian nenekku
diangkat keluar rumah dan tak berapa lama sadar dari pingsannya. Belum lama ia
tersadar, kemudian ada info dari warga sekitar bahwa akan terjadi tsunami yang
berasal dari pantai parangtritis. Jarak pantai parangtritis dan rumah nenekku
cukup dekat hanya sekitar 3 KM. lalu warga yang tadi berusaha menolong nenekku
dari reruntuhan rumah dan warungnya berusaha menyelamatkan diri sendiri takut
terseret arus tsunami, maka ditinggalah nenekku sendirian dibawah pohon mangga.
Aku ingat waktu itu nenekku bercerita bahwa pada saat itu yang ia pikirkan
ialah kalaupun tsunami benar-benar tiba dan menyeret tubuh nenekku, ia hanya
berharap bahwa semoga ada salah satu dari keluarganya yang bisa menemukan
jasadnya.
Selain itu, pada saat
itu juga ada satu cerita yang cukup unik. Jadi pada waktu itu kakak dari
nenekku meninggal dunia setelah tertimpa reruntuhan bangunan rumahnya. Keluarganya
kemudian mencoba untuk mengeluarkan jasadnya dari dalam rumah. Setelah dibawa
keluar, saat mendengar ada isu tsunami yang akan datang, maka jasad tersebut
hanya diletakkan di bawah pohon sawo yang tak jauh dari tempat dimana nenekku
yang masih hidup itu diletakkan.
Setelah mendapatkan
info dari BMKG bahwa ternyata berita tsunami itu hanya isu belaka, maka warga
kampung itu segera kembali untuk menolong nenekku yang sedang kritis untuk
segera dibawa kerumah sakit. Dan jenazah kakak dari nenekku pun segera
dimandikan dan dimakamkan dengan layak.
Di jogja nenekku
tidaklah tinggal sendirian, ia tinggal dengan budeku, dan dua orang cucunya,
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Cucunya yang laki-laki bernama Kodrat,
dan yang perempuan bernama Syifa. Kodrat berusia 14 tahun (pada saat itu)
tetapi ia cacat fisik, kedua kakinya lumpuh dan tangan kanannya tidak dapat berfungsi
seperti orang normal pada umumnya. Dan cucunya yang perempuan, Syifa saat itu
baru berusia 4 tahun.
Saat terjadi gempa,
budeku sedang berada di pasar untuk membeli perlengkapan warung. Seperti biasa
ia mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter dan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk sampai di pasar. Kemudian saat gempa berlangsung, ia berusaha sebisa
mungkin untuk menyelamatkan diri. ia sangat bingung dan panik. Yang ada di
pikirannya saat itu hanyalah bagaimana keadaan nenekku, anaknya dan
keponakannya. Kakinya lemas seolah tidak mampu untuk mengayuh sepedanya yang
tua itu. Ia akhirnya menuntun sepeda itu sambil menangis karena ia pikir anak,
keponakan, dan ibunya telah meninggal dunia.
Satu jam kemudian
budeku tiba. Ia melihat rumahnya sudah hancur dan ia berteriak-teriak histeris
berusaha mencari keluarganya di balik reruntuhan puing bangunan. Tapi ia tidak
menemui satupun anggota keluarganya, dan tangisannya pun semakin kencang. Ia mencoba
masuk ke bagian kamar mandi rumah. Sontak ia sangat terkejut ketika melihat
anaknya yang cacat fisik (Kodrat) bisa selamat dari reruntuhan rumah. Kodrat hanya
diam dan duduk di atas sumur yang sudah tertimpa reruntuhan bangunan. Disinilah
mukjizat itu datang, akupun sampai saat ini tidak habis pikir bagaimana caranya
seorang Kodrat yang cacat fisik, dan tidak bisa berdiri bisa berada di atas
reruntuhan bangunan yang cukup tinggi tanpa terluka sedikitpun.
Setelah budeku
menemukan anaknya, kini ia mencoba untuk mencari keponakannya, yaitu Syifa. Ia mencoba
mencari Syifa di reruntuhan bangunan tapi tidak ketemu juga. Tak berapa lama
kemudian ada seorang ibu-ibu yang menggandeng anak kecil, ya itulah Syifa, ia
pun selamat tanpa terluka sedikitpun. Disinilah terjadi mukjizat kedua yang
diturunkan oleh Allah kepada keluarga kami. Biasanya setiap pagi Syifa belum
terbangun dan masih tertidur di kamar budeku itu. Tapi entah mengapa hari itu
ia bangun pagi sekali dan bermain dengan temannya di luar rumah. Andaikan waktu
itu ia masih tertidur, maka pasti saat ini ia telah meninggal dunia.
Kodrat dan Syifa sudah
bertemu dengan budeku, tinggal nenekku yang belum ketemu. Budeku mencoba
mencari kabar nenekku dengan bertanya ke warga sekitar. Ada yang melihat bahwa
nenekku telah dibawa oleh warga setempat ke rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan pertama karena kondisinya yang kritis. Saat itu nenekku dibawa
kerumah sakit dengan menggunakan mobil bak milik salah satu warga.
Budeku langsung
menyusul kerumah sakit. Kodrat di letakannya di jok belakang sepeda, dan syifa
di masukkan kedalam tas keranjang belanjaan yang di letakkan di setang sepeda
tuanya.
Hampir satu jam ia
mengayuh sepedanya, dan akhirnya tiba di rumah sakit tempat dimana nenekku
diberikan pertolongan pertama. Ia menceritakan bahwa saat dirumah sakit banyak
darah yang berceceran dimana-mana, ada seorang ayah yang menangis karena
anaknya yang masih bayi meninggal dan kepalanya penuh dengan darah. Sang ayah
itu memeluk erat anaknya yang sudah tidak bernyawa. Ada pula seorang ibu yang
tengah memangku seorang nenek yang tidak menggunakan baju, karena bajunya
digunakan untuk menghentikan laju darah yang mengalir dari kepala si nenek itu.
Dan yang lebih mengharukan ada seorang ibu yang tangan kanannya menggendong
bayi kecil yang sudah tidak bernyawa, dan tangannya yang satu lagi sedang
memangku kepala jasad anaknya yang berusia remaja. Ya ibu itu kehilangan dua
anaknya sekaligus.
Setelah beberapa kali
memutari area rumah sakit yang saat itu sangat ramai dipenuhi oleh para korban
gempa, budeku melihat ada seorang nenek yang tengah tergeletak di trotoar, dan
ternyata itu adalah nenekku. Nenekku telah diberi pertolongan pertama oleh
pihak rumah sakit. Bibirnya yang sobek hanya diberi hansaplast. Kepalanya yang
bocor hanya diberi obat merah dan diperban, sementara tangannya yang patah
dibiarkan begitu saja.
Budeku langsung memeluk
nenekku dalam-dalam. Hanya suara tangis yang saat itu terdengar, tangisan sedih
karena kondisi nenekku yang terluka dan tangisan syukur karena seluruh anggota
keluarganya masih hidup.
Kemudian nenekku dibawa
kembali pulang dan diletakkan di dalam tenda yang seadanya. Hingga aku dan
keluarga tiba, nenekku masih terbaring di dalam tenda dan belum makan apapun
karena bibirnya sobek. Rambutnya lusuh, dengan warna merah akibat darah yang
mengalir di kepalanya. Tak lama kami tiba, hujan pun turun dengan deras. Tenda tersebut
bocor, kemudian nenekku dan beberapa anak kecil lainnya.
Saat hujan sedang
turun, terdengar beberapa kali reruntuhan bangunan yang ambruk. Sangat mencekam
saat itu. Kami berusaha menghibur diri dengan tertawa di setiap bunyi
reruntuhan rumah sambil membicarakan guyonan kecil.
Pagi tiba, nenekku,
kami bawa kerumah sakit di daerah salatiga. Kami sengaja membawa kerumah sakit
itu karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari rumah nenek dari bapakku di
daerah salatiga. Kodrat dan Syifa dibawa kerumah nenekku di salatiga untuk
mengurangi rasa trauma akan tragedi gempa. Beberapa hari nenekku dirumah sakit
dan diberi perawatan, kemudian dibawa ke rumahku di Bogor untuk mengembalikan
kondisi jiwanya agar tidak trauma kembali.
Kini, enam tahun sudah tragedi
itu terjadi, dan kondisi kampung nenekku telah kembali normal. Walaupun gempa
itu telah merenggut ribuan korban jiwa dan menghancurkan puluhan ribu rumah,
tetapi kini semua nampak tak berbekas. Jogjaku kini sudah kembali indah, tidak
ada lagi puing-puing bangunan sisa dari gempa yang melanda enam tahun lalu. Terimakasih
pemerintah, terimakasih bapak sri sultan HB X dan bapak paku alam yang telah
berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan kecantikan jogjaku. Terimakasih
juga pada dunia internasional yang telah turut membantu pada saat evakuasi
korban gempa, terimakasih semuanya. :)
This is a very interesting read.
BalasHapus