Kamis, 10 April 2014

PASCA PILEG, BENARKAH KITA SIAP BERDEMOKRASI?






Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota telah usai. Terlepas dari beberapa kendala yang terjadi selama masa pemilu baik teknis maupun non teknis, kita perlu mengapresiasi kinerja KPU serta jajaran aparat pemerintah lainnya baik TNI/Polri serta seluruh pihak yang terlibat sehingga pemilu kali ini dapat berjalan secara kondusif. Pada tulisan kali ini, saya tidak akan menyoroti bagaimana kinerja KPU dalam mensukseskan jalannya pemilu, namun saya akan lebih memfokuskan tulisan ini kepada kesiapan masyarakat Indonesia dalam menyambut setiap pesta demokrasi yang ada. Benarkah kita siap untuk berdemokrasi? Ataukah sistem demokrasi masih dianggap kurang cocok untuk bangsa ini?


-----------------------------------------------------
            Sebuah pertanyaan yang muncul dari dalam diri saya pribadi. Ketika pagi itu, ada salah seorang warga yang datang mengunjungi rumah saya. Dengan perasaan gembira ia menunjukkan tinta pada jari kelingkingnya, tanda bahwa ia telah mengikuti pencoblosan di salah satu TPS dekat rumah saya. Namun yang menjadi fokus perhatian saya pada saat itu adalah ketika ia mengatakan bahwa ia baru mengetahui kalau lembar pencoblosan untuk calon anggota legislatif DPR-RI berisi urutan nama, bukan foto sang calon. “Waktu saya mau nyoblos, saya bingung kok gak ada fotonya. Saya cuma inget fotonya, namanya mah gak tau, jadi saya asal pilih aja”, begitulah yang ia ucapkan.
            Kemudian saat menuju ke TPS tempat dimana dicantumkannya nama saya untuk mencoblos, saya bertemu dengan salah seorang warga. Warga tersebut memiliki KTP dengan alamat Bandung, Jawa Barat. Sedangkan daerah tempat saya memilih adalah Depok, Jawa Barat. Lama ia menunggu di TPS tersebut, dengan kebingungan ia menanyakan kepada beberapa warga apakah ia bisa menyalurkan hak suaranya dengan mencoblos di daerah Depok, walaupun alamat yang tertera pada KTPnya adalah Bandung. Setelah mendapatkan penjelasan dari ketua RT setempat bahwa warga tersebut tidak dapat memilih di TPS itu, ia nampak kecewa dan memilih untuk kembali ke rumahnya sambil berkata “wah, tau gitu saya mudik nih biar bisa nyoblos”.
            Kedua contoh warga dengan dua permasalahan yang berbeda yang mereka alami saat hendak mencoblos, mencerminkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita belum seluruhnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang mekanisme pemilu. Kurang aktifnya masyarakat kita untuk mencari informasi secara mandiri, masih menjadi PR besar bagi bangsa ini.


---------------------------------------------------------
            Usai mencoblos, saya kembali ke rumah dan menyaksikan salah satu stasiun TV swasta yang hendak menyajikan hasil hitung cepat /quick count. Sambil terus memantau perkembangan yang tiap menitnya selalu diperbarui, saya mencoba mengganti beberapa channel hingga saya melihat liputan berita mengenai banyak warga yang lebih memilih berlibur bersama keluarga dibanding datang ke TPS dan mencoblos. Memang agar meminimalisir angka golput, pemerintah melakukan berbagai upaya termasuk salah satunya adalah dengan memberikan hari libur nasional kepada warga Indonesia agar memiliki waktu untuk mencoblos. Namun nampaknya niat baik pemerintah itu tidak selamanya ditanggapi dengan baik pula oleh masyarakat Indonesia. Bahkan saat beberapa warga diwawancara untuk mengetahui alasan mereka lebih memilih berlibur dibanding mencoblos, salah seorang warga mengatakan bahwa sejak dulu ia tidak pernah mencoblos. Menurutnya, pemilu tidak akan merubah wajah Indonesia ke arah yang lebih baik. Sikap apatis yang tinggi serta masih adanya warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran rendah terhadap dampak positif dari pemilu, perlu menjadi perhatian tersendiri bagi bangsa ini. Meskipun, menurut data quick count beberapa lembaga mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Indonesia untuk mencoblos meningkat bila dibanding pemilu 2004 dan 2009 lalu.



-------------------------------------------------------------- 
            Malam harinya, aktifitas saya seperti biasa yaitu membaca beberapa berita dari salah satu situs media online nasional. Hampir seluruh kolom berita membahas seputar pemilu, mulai dari hasil quick count , Konferensi pers para petinggi partai, hingga kemungkinan-kemungkinan koalisi yang akan dilakukan oleh partai politik peserta pemilu 2014. Ada salah satu berita menarik yang saat itu saya baca. Pada berita itu disebutkan bahwa terdapat salah seorang calon anggota legislatif yang menuntut pengembalian uangnya yang diberikan kepada sejumlah warga beberapa saat menjelang pencoblosan. Uang tersebut dibagikan malam hari sebelum pemilihan. Caleg ini merasa kecewa terhadap warga yang telah diberikan uang masing-masing 150 ribu rupiah agar bersedia memilihnya. Namun, ternyata kesadaran masyarakat untuk menolak caleg yang money politic sudah mulai terbangun. Uang yang dibagikan sudah diterima oleh masing-masing warga, namun saat penghitungan suara hanya ada beberapa warga saja yang benar-benar menepati janjinya untuk memilih caleg tersebut. Miris memang, dalam proses demokrasi, sudah seyogyanya bahwa saat berkompetisi harus siap menang dan siap kalah. Beberapa daerah seperti Solo dan Yogyakarta memang telah melakukan aksi berupa kesepakatan bagi para caleg yang berkompetisi pada pemilu tahun ini agar siap menang dan harus siap bila kalah. Namun nampaknya, lagi-lagi kekurangdewasaan para peserta caleg yang kalah mengakibatkan banyak yang tidak terima terhadap hasil pemilu tersebut.


            Permasalahan-permasalahan yang masih dialami hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, mulai dari minimnya wawasan dan pengetahuan tentang pemilu, masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pemilu yang mampu membawa perubahan bangsa kita ke arah yang lebih baik lagi, serta kekurangdewasaan para caleg yang berkompetisi pada pemilu tahun ini harus menjadi perhatian serius bangsa. Tentu bukanlah hal yang bijak apabila kita hanya bisa mencaci dan mencibir lembaga penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tetapi kita justru enggan untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan merubah Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Mampukah kita semua menjawab pertanyaan apakah kita sudah siap untuk berdemokrasi? Entahlah, mungkin kita perlu mengutip lirik dari Ebiet G. Ade, “….coba tanyakan pada rumput yang bergoyang….”.