Minggu, 27 Mei 2012

Memori Tragedi Gempa Bumi DIY 27 Mei 2006


Hari ini tepat enam tahun tragedi itu terjadi. Ya, pada tanggal 27 Mei 2006 yang lalu telah terjadi gempa bumi yang dahsyat dengan kekuatan getaran 5,9 SR di bumi Jogja tepatnya di dekat pantai parangtritis kabupaten Bantul. Pada kali ini aku akan berbagi cerita tentang pengalamanku ketika bumi tercinta tempat asalku itu diguncang gempa.

Jogja, 27 Mei 2006
Aku ingat ketika itu hari sabtu pagi . saat itu aku masih tidur lelap bersama bapakku, sedangkan ibuku sudah pergi bekerja karena pada waktu itu ibuku masih menjadi seorang karyawati di salah satu PT yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalku.
Tiba-tiba pintu rumahku yang semula tertutup kemudian ada yang membuka dengan gerakan yang seperti mendobrak. Ternyata orang itu adalah ibuku. Aku kaget dan terbangun dari tidurku dan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh ibuku.tanpa banyak bicara, ibuku kemudian menyalakan tv dan langsung mencari-cari berita tentang gempa.
Tak lama kemudian muncul sebuah berita yang menjelaskan bahwa telah terjadi gempa di daerah istimewa Yogyakarta. Dan yang menjadi daerah terparah yang mengalami kerusakan rumah adalah daerah kabupaten bantul, ya itu adalah daerah di mana nenek dan saudara-saudaraku tinggal.
Setelah mendengar berita itu lantas ibuku berusaha untuk mengkonfirmasi kebenaran berita itu dengan menelpon salah satu saudaraku yang berada di sana. Dan ternyata benar, ternyata kampung tempat dimana ibuku berasal telah diguncang gempa dan hampir seluruh rumah di daerah tersebut hancur akibat gempa yang terlalu keras.
Kemudian kami langsung merapihkan baju dan peralatan yang sekiranya penting untuk dibawa ke jogja. Dua jam kemudian kami sekeluarga berangkat menuju ke jogja.
Di perjalanan tentu kami sangat cemas menanti bagaimana nasib dari nenekku yang kabarnya ia terkena reruntuhan rumah dan di bawa kerumah sakit oleh salah seorang warga kampung itu. Selama perjalanan, ibuku selalu berkomunikasi dengan salah satu saudaraku yang ada di jogja untuk menanyakan apa saja yang perlu dibawa dan obat-obatan apa saja yang dibutuhkan.
Mobil kami sempat berhenti beberapa kali untuk membeli tenda, minyak tanah, dan obat-obatan. Dan membutuhkan waktu lebih dari 14 jam untuk menempuh perjalanan sepanjang 650 KM bogor – jogja. Sekitar jam 3 malam kami mulai memasuki daerah jogja.
Tepat seperti dugaanku, suasana jogja setelah diguncang gempa sangat mencekam. Sepanjang jalan tidak kutemui satupun lampu yang menyala kecuali lampu mobil yang lewat. Kamipun sempat tersasar karena tidak ada sama sekali petunjuk jalan dan mungkin sudah ambruk terkena gempa bumi.
Aku ingat saat itu sekitar jam setengah 4 pagi aku mulai memasuki perkampungan tempat nenekku tinggal. Benar kata saudaraku, semua rumah disana hancur berantakan dan tidak ada satupun rumah yang masih berbentuk bangunan, semua sudah rata dengan tanah.
Perlahan-lahan mobil kami menyusuri perkampungan yang sangat gelap. Dan ketika lampu mobil kami menyoroti salah satu pinggir jalan, aku sempat melihat ada mungkin beberapa jenazah yang saat itu belum dikubur juga karena suasana yang masih panik dan sangat mencekam. Dan kami akhirnya tiba di rumah nenek kami dan disana terlihat ada sebuah tenda kecil yang diisi oleh banyak sekali orang di dalamnya.
Aku turun dari mobil, dan saat itu tidak ada satu katapun yang bisa ku sampaikan. Hanya diam dan seolah tidak percaya bahwa kampung yang sekitar 6 bulan yang lalu kulihat masih bersih dan tertata rapih kini hancur berantakan dan memunculkan kesan “kota mati”.
Ibuku dan bapakku menuju ke tenda yang sudah dibangun oleh warga sekitar, tak berapa lama akupun menyusul kesana. Tangisan dan jeritan langsung keluar dari mulut ibuku ketika melihat nenekku yang saat itu tergeletak di dalam tenda di tengah kerumunan orang-orang yang lainnya. Nenekku memang masih hidup, tapi kondisinya parah. Tangannya patah, bibirnya sobek dan kepalanya bocor.
Ya Allah, benar-benar gak kuat aku liatnya. Nenekku hanya bisa berbaring dan bahkan dudukpun ia gak sanggup. Saudaraku menceritakan kepada ibuku ternyata nenekku tadi pagi tertimpa reruntuhan rumah dan mereka pikir nenekku telah meninggal dunia.
Jadi pada waktu pagi itu, nenekku sedang duduk di depan warungnya. Kemudian datang seorang nenek yang ingin menukarkan berasnya dengan kelapa. Kemudian nenekku masuk ke dalam warungnya untuk mengambil kelapa itu. Saat di dalam warung tiba-tiba terjadi gempa yang frekuensinya tidak terlalu besar. Nenekku yang kaget langsung lari keluar warung untuk menyelamatkan diri. Setelah keluar, kemudian gempa itu berhenti. Karena merasa gempa itu sudah selesai, maka nenekku masuk kembali ke dalam warungnya untuk mengambil kelapa, tapi justru saat itu juga terjadi lagi gempa yang kali ini frekuensinya jauh lebih besar dari frekuensi gempa yang pertama, dan waktunya pun cukup lama, kurang lebih sekitar satu menit.
Nenekku langsung jatuh dan tertimpa reruntuhan bangunan warungnya. Kemudian nenekku pingsan. Beberapa menit kemudian ada beberapa warga yang melihat nenekku sedang pingsan dan tertimpa reruntuhan rumah. Mereka mencoba untuk mengangkat reruntuhan itu dari badan nenekku. Awalnya mereka berdua mencoba untuk mengangkat tapi tidak kuat, akhirnya salah satu dari mereka mencoba untuk memanggil warga yang lainnya untuk membantu mengangkat puing reruntuhan itu, dan setelah 4 orang yang mencoba mengangkat barulah reruntuhan itu bisa diangkat dari tubuh nenekku.
Kemudian nenekku diangkat keluar rumah dan tak berapa lama sadar dari pingsannya. Belum lama ia tersadar, kemudian ada info dari warga sekitar bahwa akan terjadi tsunami yang berasal dari pantai parangtritis. Jarak pantai parangtritis dan rumah nenekku cukup dekat hanya sekitar 3 KM. lalu warga yang tadi berusaha menolong nenekku dari reruntuhan rumah dan warungnya berusaha menyelamatkan diri sendiri takut terseret arus tsunami, maka ditinggalah nenekku sendirian dibawah pohon mangga. Aku ingat waktu itu nenekku bercerita bahwa pada saat itu yang ia pikirkan ialah kalaupun tsunami benar-benar tiba dan menyeret tubuh nenekku, ia hanya berharap bahwa semoga ada salah satu dari keluarganya yang bisa menemukan jasadnya.
Selain itu, pada saat itu juga ada satu cerita yang cukup unik. Jadi pada waktu itu kakak dari nenekku meninggal dunia setelah tertimpa reruntuhan bangunan rumahnya. Keluarganya kemudian mencoba untuk mengeluarkan jasadnya dari dalam rumah. Setelah dibawa keluar, saat mendengar ada isu tsunami yang akan datang, maka jasad tersebut hanya diletakkan di bawah pohon sawo yang tak jauh dari tempat dimana nenekku yang masih hidup itu diletakkan.
Setelah mendapatkan info dari BMKG bahwa ternyata berita tsunami itu hanya isu belaka, maka warga kampung itu segera kembali untuk menolong nenekku yang sedang kritis untuk segera dibawa kerumah sakit. Dan jenazah kakak dari nenekku pun segera dimandikan dan dimakamkan dengan layak.
Di jogja nenekku tidaklah tinggal sendirian, ia tinggal dengan budeku, dan dua orang cucunya, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Cucunya yang laki-laki bernama Kodrat, dan yang perempuan bernama Syifa. Kodrat berusia 14 tahun (pada saat itu) tetapi ia cacat fisik, kedua kakinya lumpuh dan tangan kanannya tidak dapat berfungsi seperti orang normal pada umumnya. Dan cucunya yang perempuan, Syifa saat itu baru berusia 4 tahun.
Saat terjadi gempa, budeku sedang berada di pasar untuk membeli perlengkapan warung. Seperti biasa ia mengayuh sepedanya berkilo-kilo meter dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di pasar. Kemudian saat gempa berlangsung, ia berusaha sebisa mungkin untuk menyelamatkan diri. ia sangat bingung dan panik. Yang ada di pikirannya saat itu hanyalah bagaimana keadaan nenekku, anaknya dan keponakannya. Kakinya lemas seolah tidak mampu untuk mengayuh sepedanya yang tua itu. Ia akhirnya menuntun sepeda itu sambil menangis karena ia pikir anak, keponakan, dan ibunya telah meninggal dunia.
Satu jam kemudian budeku tiba. Ia melihat rumahnya sudah hancur dan ia berteriak-teriak histeris berusaha mencari keluarganya di balik reruntuhan puing bangunan. Tapi ia tidak menemui satupun anggota keluarganya, dan tangisannya pun semakin kencang. Ia mencoba masuk ke bagian kamar mandi rumah. Sontak ia sangat terkejut ketika melihat anaknya yang cacat fisik (Kodrat) bisa selamat dari reruntuhan rumah. Kodrat hanya diam dan duduk di atas sumur yang sudah tertimpa reruntuhan bangunan. Disinilah mukjizat itu datang, akupun sampai saat ini tidak habis pikir bagaimana caranya seorang Kodrat yang cacat fisik, dan tidak bisa berdiri bisa berada di atas reruntuhan bangunan yang cukup tinggi tanpa terluka sedikitpun.
Setelah budeku menemukan anaknya, kini ia mencoba untuk mencari keponakannya, yaitu Syifa. Ia mencoba mencari Syifa di reruntuhan bangunan tapi tidak ketemu juga. Tak berapa lama kemudian ada seorang ibu-ibu yang menggandeng anak kecil, ya itulah Syifa, ia pun selamat tanpa terluka sedikitpun. Disinilah terjadi mukjizat kedua yang diturunkan oleh Allah kepada keluarga kami. Biasanya setiap pagi Syifa belum terbangun dan masih tertidur di kamar budeku itu. Tapi entah mengapa hari itu ia bangun pagi sekali dan bermain dengan temannya di luar rumah. Andaikan waktu itu ia masih tertidur, maka pasti saat ini ia telah meninggal dunia.
Kodrat dan Syifa sudah bertemu dengan budeku, tinggal nenekku yang belum ketemu. Budeku mencoba mencari kabar nenekku dengan bertanya ke warga sekitar. Ada yang melihat bahwa nenekku telah dibawa oleh warga setempat ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama karena kondisinya yang kritis. Saat itu nenekku dibawa kerumah sakit dengan menggunakan mobil bak milik salah satu warga.
Budeku langsung menyusul kerumah sakit. Kodrat di letakannya di jok belakang sepeda, dan syifa di masukkan kedalam tas keranjang belanjaan yang di letakkan di setang sepeda tuanya.
Hampir satu jam ia mengayuh sepedanya, dan akhirnya tiba di rumah sakit tempat dimana nenekku diberikan pertolongan pertama. Ia menceritakan bahwa saat dirumah sakit banyak darah yang berceceran dimana-mana, ada seorang ayah yang menangis karena anaknya yang masih bayi meninggal dan kepalanya penuh dengan darah. Sang ayah itu memeluk erat anaknya yang sudah tidak bernyawa. Ada pula seorang ibu yang tengah memangku seorang nenek yang tidak menggunakan baju, karena bajunya digunakan untuk menghentikan laju darah yang mengalir dari kepala si nenek itu. Dan yang lebih mengharukan ada seorang ibu yang tangan kanannya menggendong bayi kecil yang sudah tidak bernyawa, dan tangannya yang satu lagi sedang memangku kepala jasad anaknya yang berusia remaja. Ya ibu itu kehilangan dua anaknya sekaligus.
Setelah beberapa kali memutari area rumah sakit yang saat itu sangat ramai dipenuhi oleh para korban gempa, budeku melihat ada seorang nenek yang tengah tergeletak di trotoar, dan ternyata itu adalah nenekku. Nenekku telah diberi pertolongan pertama oleh pihak rumah sakit. Bibirnya yang sobek hanya diberi hansaplast. Kepalanya yang bocor hanya diberi obat merah dan diperban, sementara tangannya yang patah dibiarkan begitu saja.
Budeku langsung memeluk nenekku dalam-dalam. Hanya suara tangis yang saat itu terdengar, tangisan sedih karena kondisi nenekku yang terluka dan tangisan syukur karena seluruh anggota keluarganya masih hidup.
Kemudian nenekku dibawa kembali pulang dan diletakkan di dalam tenda yang seadanya. Hingga aku dan keluarga tiba, nenekku masih terbaring di dalam tenda dan belum makan apapun karena bibirnya sobek. Rambutnya lusuh, dengan warna merah akibat darah yang mengalir di kepalanya. Tak lama kami tiba, hujan pun turun dengan deras. Tenda tersebut bocor, kemudian nenekku dan beberapa anak kecil lainnya.
Saat hujan sedang turun, terdengar beberapa kali reruntuhan bangunan yang ambruk. Sangat mencekam saat itu. Kami berusaha menghibur diri dengan tertawa di setiap bunyi reruntuhan rumah sambil membicarakan guyonan kecil.
Pagi tiba, nenekku, kami bawa kerumah sakit di daerah salatiga. Kami sengaja membawa kerumah sakit itu karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari rumah nenek dari bapakku di daerah salatiga. Kodrat dan Syifa dibawa kerumah nenekku di salatiga untuk mengurangi rasa trauma akan tragedi gempa. Beberapa hari nenekku dirumah sakit dan diberi perawatan, kemudian dibawa ke rumahku di Bogor untuk mengembalikan kondisi jiwanya agar tidak trauma kembali.
Kini, enam tahun sudah tragedi itu terjadi, dan kondisi kampung nenekku telah kembali normal. Walaupun gempa itu telah merenggut ribuan korban jiwa dan menghancurkan puluhan ribu rumah, tetapi kini semua nampak tak berbekas. Jogjaku kini sudah kembali indah, tidak ada lagi puing-puing bangunan sisa dari gempa yang melanda enam tahun lalu. Terimakasih pemerintah, terimakasih bapak sri sultan HB X dan bapak paku alam yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan kecantikan jogjaku. Terimakasih juga pada dunia internasional yang telah turut membantu pada saat evakuasi korban gempa, terimakasih semuanya. :)